Kematian Yang Terakhir

Rosalia
3 min readSep 27, 2022

--

https://id.pinterest.com/pin/899392988060170592/

Aku terus mati sejak hari itu.

Aku berusia 3 tahun ketika seorang perempuan berkata padaku bahwa aku sudah mati.

“Hiduplah seolah kamu sudah mati. Hanya dengan begitu, kamu bisa bertahan,” katanya sambil memegang kedua lenganku. Wajahnya berderai air mata. Aku menurutinya dan itu menjadi kematian pertamaku.

Aku duduk di kelas 5 bangku Sekolah Dasar saat seorang laki-laki berkacamata yang memegang kapur di tangannya bertanya tentang apa impianku. Aku mendiaminya, tapi ia terus bertanya, membiarkanku menjadi tontonan di ruangan itu.

“Kamu sama sekali tidak punya impian?”. Laki-laki itu masih belum menyerah, tapi aku bergeming. Seisi ruangan mulai riuh, mendesakku memberi jawaban.

Laki-laki itu menatap lurus ke arah mataku, entah apa yang ia cari di sana.

“Kamu mati kalau tidak punya impian, Nak.” Aku mengangguk mengerti, lalu kembali duduk. Itu adalah Kematian keduaku.

Usiaku 15 tahun saat berjalan di sebuah gang sepi menuju tempat tinggalku. Langkahku terhenti oleh suara yang terdengar seperti minta tolong. Ketika berbalik, aku mendapati seorang laki-laki yang tampak sebaya denganku, terduduk lemas dengan punggung menyandar ke tembok. Tubuhnya penuh luka dan ada darah. Tangannya mencoba meraihku, tapi aku tidak mendekatinya sebab ingatan tentang perempuan itu memenuhi kepalaku.

“Jangan pernah mengulurkan tanganmu untuk siapa pun. Mereka akan menyakitimu begitu kamu lengah.” itu katanya.

Aku menurutinya lagi, sehingga berakhir membuatku hanya menatap laki-laki itu dalam diam. Setelah tangannya terjatuh ke tanah, aku beranjak dari sana. Namun, sebelum terlalu jauh, aku mendengarnya berkata “Hati nuranimu benar-benar sudah mati.” Aku hanya terus berjalan.

Aku mati lagi, itu adalah yang ketiga kalinya dan aku semakin terbiasa.

Aku baru saja menginjak usia 18 tahun saat seorang perempuan yang memakai bandol merah muda di kepalanya menunduk sambil memberiku coklat.

“Aku menyukaimu sejak lama,” ungkapnya dengan tersipu malu.

“Apakah itu yang disebut Cinta?” Aku bertanya dan ia mengangguk.

Ingatanku berputar dan kembali ke hari pertama kematianku. Perempuan itu berkata bahwa cinta akan membuatku kesakitan. Jadi, jangan pernah menerima apalagi menaruh harapan padanya.

“Aku tidak butuh hal seperti itu. Pergilah.” Aku melihat sudut mata perempuan itu berair, tatapannya berubah drastis. Aku hendak meninggalkannya, tapi ia mencekal tanganku.

“Tidak butuh katamu? Tanpa Cinta, kamu tidak bisa hidup.” Jadi begitu?, artinya sekarang aku mati lagi dan itu akan menjadi kematianku yang keempat.

Aku melihat orang-orang begitu menangisi kematian. Tampaknya kematian menjadi sesuatu yang menakutkan, sehingga mereka terus saja menghindarinya pun mengingkarinya. Sedang aku terus saja dianggap sudah mati.

Aku telah menjadi seorang pekerja ketika untuk pertama kalinya mengunjungi sebuah tempat makan.

“Boleh saya catat pesanan anda?”

“Berikan apa saja.”

“Kami punya banyak menu, lihatlah dulu. Anda bisa memilih yang anda suka.”

“Aku tidak punya, jadi berikan apa pun yang ada di sini.”

Pelayan itu tidak beranjak dari tempatnya. Rekannya datang dan mereka berdiskusi, setelahnya mereka pergi dan pelayan tadi kembali dengan membawa banyak makanan.

“Makanlah dan anda bisa menentukan apa yang anda sukai setelahnya.” Aku tidak menanggapinya.

“Menikmati makanan yang kita suka akan membuat kita bahagia. Bahagia membuatmu hidup.” Katanya sebelum menghilang dari hadapanku. Aku tidak perlu hal seperti itu untuk hidup.

Sekarang, aku sudah berusia 26 tahun dan seorang laki-laki berjas putih sedang memberitahuku bahwa hidupku tidak akan lama lagi. Aku mengangguk mengerti. Kematianku akhirnya menemui ujungnya. Aku tidak perlu hidup untuk terus mati.

“Apa anda yakin tidak ingin menjalani operasi? Saya berjanji akan melakukan yang terbaik.”

“Tidak perlu, karena saya memang tidak pernah benar-benar hidup selama ini.” Alis laki-laki itu berkerut.

“Apa itu yang anda inginkan?” ia lanjut bertanya dan aku hanya menatapnya.

Aku memang harus benar-benar mati karena percuma tubuhku hidup, tapi jiwaku tidak. Aku benar-benar memilih kematian dan itu bukan karena siapa pun, melainkan karena aku ingin mengakhirinya. Biarlah ini menjadi kematianku yang terakhir.

Terima kasih telah meluangkan waktu membaca cerita ini :D

--

--

Rosalia
Rosalia

Written by Rosalia

Hi, it's me, Rosa, a girl who likes to express her feelings in writing. I hope it brought you some inspiration or comfort.

No responses yet